Dari sinilah Tan Malaka menemukan ketimpangan sosial di lingkungan sekitar.
Sebelumnya, saat melaksanakan studi di Belanda, Tan Malaka sudah mulai tertarik dan mempelajari tentang paham sosialisme dan komunisme.
Jadi tak heran jika kembalinya ke Indonesia, Tan Malaka membawa pemikiran yang radikal tersebut.
Selain itu, Tan Malaka juga dapat menguasai 8 bahasa yakni Minang, Indonesia, Belanda, Rusia, Jerman, Mandarin dan Tagalog.
Menuai dari beberapa keterangan sejarahwan, Tan Malaka hidup dengan penuh keringat darah.
Mulai dari penangkapan dan pembuangan di Kupang, pengusiran dari negara Indonesia ke Belanda, hingga pernah diduga kuat sebagai dalang dibalik penculikan Sutan Syahrir pada bulan Juni 1946.
Hingga akhirnya Tan Malaka dijebloskan ke penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun.
Tan Malaka bersikeras menolak adanya perundingan dengan pihak Belanda perihal Kemerdekaan Indonesia, seperti perundingan Linggarjati 1947 maupun perundingan Renville 1948.
Tan Malaka khawatir jika perundingan-perundingan tersebut akan merugikan pihak Indonesia.