Media Magelang - Mantan rektor Universitas Udayana (Unud) Bali dituntut 6 tahun penjara.
Tuntutan itu dikarenakan mantan rektor Universitas Udayana (Unud) Bali terbukti melakukan korupsi dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI).
Korupsi dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) tersebut dilakukan oleh mantan rektor Universitas Udayana (Unud) Bali, Prof. Dr. I Nyoman Gde Antara
dalam penerimaan mahasiswa baru seleksi jalur mandiri tahun akademik 2018-2022.
Tuntutan 6 tahun penjara untuk mantan rektor Unud Bali tersebut dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Nengah Astawa di hadapan hakim Agus Akhyudi dan kawan-kawan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar, Selasa 23 Januari 2024.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa atas kesalahannya dengan pidana penjara selama enam (6) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan," kata JPU Nengah Astawa, dikutip dari Antara.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Nengah Astawa dan kawan-kawan menyatakan, terdakwa I Nyoman Gede Antara terbukti secara resmi dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2020 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana jo. Pasal 65 KUHP sebagaimana dakwaan kedua.
Selain pidana fisik, Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga menuntut mantan rektor Unud Bali tersebut dengan pidana denda sebesar Rp300 juta sebagai pengganti tiga bulan kurungan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai, dakwaan kedua lebih tepat, karena dibuktikan dengan perbuatan terdakwa, di mana dalam persidangan terungkap dengan jelas, bahwa pungutan dana SPI terhadap calon mahasiswa baru seleksi Unud Bali merupakan salah satu tarif layanan Akademik, yang seharusnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Namun, dana SPI yang dipungut I Nyoman Gede Antara tidak ditetapkan sebagai Tarif Layanan BLU Unud sebagaimana tercantum dalam PMK 51/PMK.05/2015 dan PMK95/PMK.05/2022, melainkan hanya didasarkan pada keputusan rektor Unud Bali.
JPU menambahkan, yang lebih parah, terdapat beberapa program studi yang seharusnya tidak dikenai SPI berdasarkan SK rektor, namun tetap dikenai pungutan SPI dalam website atau sistem pendaftaran.
Terdakwa I Nyoman Gde Antara dinilai JPU telah melakukan pungutan SPI dalam kapasitasnya sebagai Ketua Tim Penerimaan Mahasiswa Seleksi Jalur Mandiri tahun akademik 2018/2019, 2019/2020 dan 2020/2021.
Tak hanya itu, I Nyoman Gde Antara juga melakukan tindak korupsi dalam kapasitasnya selaku Rektor Unud tahun akademik 2022-2023.
Adapun jumlah pungutan SPI secara keseluruhan sebesar Rp274.570.092.691.
Total tersebut mencakup 347 calon mahasiswa baru yang memilih program studi, yang sebenarnya tidak masuk dalam Keputusan Rektor Universitas Udayana dengan nilai total pungutan Rp4.002.452.100.
JPU menjelaskan, uang hasil pungutan SPI tersebut seharusnya digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana Unud Bali, tetapi justru disimpan bukan dalam bentuk deposito sebagai investasi jangka pendek.
Uang hasil pungutan tersebut disimpan di rekening giro RPL 037 BLU Unud, dicampur dengan pendapatan Unud lainnya, dalam jangka waktu antara tiga sampai empat tahun.
Uang hasil pungutan tersebut selanjutnya disimpan di Bank mitra Unud Bali, di antaranya adalah di Bank BTN sebesar Rp50 miliar, Bank BPD Bali sebesar Rp70 miliar, Bank Mandiri sebesar Rp30 miliar, dan Bank BNI lebih dari Rp100 miliar.
Oleh mantan rektor Unud tersebut, uang hasil pungutan itu dijadikan agunan bersama istrinya, dan pejabat Unud lainnya.
Jaminan atau agunan itu diketahui untuk memperoleh fasilitas kendaraan yang mereka gunakan.
Akibat dari tindak korupsi oleh mantan rektor Unud Bali tersebut, sebagian besar mahasiswa tidak mendapatkan manfaat dari pungutan SPI itu, karena sarana dan prasarana di Unud untuk mengajar dan belajar masih sangat minim, bahkan tidak memadai dan banyak yang rusak.
"Pasal 12 huruf UU Tipikor tidak mensyaratkan adanya kerugian keuangan negara, sehingga uang akumulasi tersebut tidak dibuktikan sebagai kerugian keuangan negara," kata JPU.
Berita Pilihan
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News dan saluran WhatsApp Channel