UU TPKS dan Harapan Kaum Perempuan di Hari Kartini

23 April 2022, 05:01 WIB
UU TPKS Disahkan DPR RI, Pengertian dan Poin Penting UU TPKS /pixabay.com/ Alexas_Fotos

Media Magelang - Hari Kartini 21 April 2022 menjadi momen yang penting bagi kaum perempuan menyusul disahkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Seperti kita ketahui, UU TPKS akhirnya resmi disahkan pada 13 April 2022 setelah penantian panjang selama satu dekade.

Dengan disahkannya UU TPKS ini, kaum perempuan korban kekerasan seksual lebih lega karena ada payung hukum yang melindungi mereka.

Apa saja yang diatur dalam UU TPKS?

Ada sembilan jenis tindak kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 1 UU TPKS dengan rincian sebagai berikut:

Baca Juga: UU Cipta Kerja Ditolak Masyarakat, Pemerintah Justru Lakukan Ini

- pelecehan seksual fisik
- pelecehan seksual non-fisik
- pemaksaan sterilisasi
- pemaksaan kontrasepsi
- penyiksaan seksual
- eksploitasi seksual
- perbudakan seksual
- pemaksaan perkawinan
- kekerasan seksual berbasis elektronik

Poin terakhir juga termasuk revenge porn (penyebaran konten pronografi demi tujuan balas dendam).

Pemerkosaan dan pemaksaan aborsi tidak masuk dalam UU TPKS karena sudah masuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Kesehatan (untuk pemaksaan aborsi).

Namun pemerintah menjamin bahwa korban pemerkosaan dan pemaksaan aborsi juga mendapat kepastian perlindungan hukum sama dengan para korban kekerasan seksual lainnya.

Baca Juga: Kumpulan Ucapan Selamat Hari Kartini 2022, Keren dan Inspiratif Cocok untuk Jadi Status Medsos

Dalam siaran pers pada 7 April 2022, ICJR bersama Indonesia Judicial Research Society (IJRS), dan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) meminta bahwa pemerkosaan dan pemaksaan aborsi masuk dalam kategori kekerasan seksual dalam revisi KUHP sehingga penanganannya masuk dalam UU TPKS ini.

ICJR juga memuji UU TPKS yang lebih luas dan detail dalam mengatur prosedur perlindungan para korban kekerasan seksual.

"Secara substansi UU TPKS mengatur hak yang jauh lebih komprehensif, menjangkau seluruh aspek yang dibutuhkan mulai dari hak prosedural dalam penanganan, hak perlindungan yang menjamin perlakuan aparat penegak hukum yang tidak merendahkan korban ataupun menyalahkan korban, dan hak pemulihan dalam bentuk Rehabilitasi medis; Rehabilitasi mental dan sosial; pemberdayaan sosial(Pasal 67-70 UU TPKS); Restitusi, Kompensasi hingga Dana Bantuan Korban yang berusaha keras menjamin efektifnya pemulihan bagi korban (Pasal 30-38), Pelayanan untuk korban pun dijamin untuk diselenggarakan secara terpadu (Pasal 73-75 UU TPKS). Juga terdapat pengaturan hak korban spesifik untuk kekerasan seksual siber yang memerlukan respon cepat dalam penghapusan konten (Pasal 47 UU TPKS)," demikian pernyataan ICJR dalam rilisnya pada 12 April 2022.

Harapan para penyintas

Dengan adanya UU TPKS ini, kaum perempuan diharapkan lebih berani melapor jika menjadi korban kekerasan seksual.

Selama ini, perempuan cenderung diam dan memilih meyimpannya sendiri jika menjadi korban kekerasan seksual.

Banyak faktor yang melatar belakangi, seperti takut bakal disalahkan sebagai penyebab terjadinya tindakan tersebut dan tidak berdaya karena pelaku adalah sosok yang dihormati di suatu instansi.

Bahkan lembaga pendidikan berbasis agama pun tidak luput dari kasus kekerasan seksual.

Salah satu yang menghebohkan adalah pemerkosaan 12 santriwati di sebuah pesantren di Bandung, Jawa Barat yang dilakukan guru sekaligus pemilik pesantren tersebut.

Beberapa korban diantaranya bahkan hamil dan sudah melahirkan.

Yang lebih miris, pelaku pelecehan seksual justru bisa menikmati kebebasan seperti yang terjadi di Universitas Riau baru-baru ini.

Data dari Komnas Perempuan, dari kejahatan seksual sepanjang 2016 hingga 2020 (ada 24.786 kasus), hanya 30 persen yang berakhir di pengadilan.

"Hal tersebut berdasarkan kajian Komnas Perempuan atas kasus perkosaan yang dilaporkan pada lembaga layanan pengaduan," demikian penuturan Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam webinar Doa Lintas Iman untuk Pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) di Jakarta 12 Januari 2022 lalu.

Saat ini, diharapkan akan ada aturan turunan penerapan UU TPKS tersebut.

Namun, UU TPKS juga tidak akan berarti apa-apa tanpa dukungan semua pihak untuk tidak membiarkan segala kejahatan seksual terjadi.

Tentunya UU TPKS diharapkan bisa menghapus budaya patriarki yang cenderung menyalahkan korban (victim blaming).

“Problematika seperti ini terjadi karena kita hidup dalam belenggu budaya patriarki, yaitu sering memberikan sikap permisif terhadap hal-hal yang berkaitan kekerasan seksual. Terlebih bentuk kekerasan seksual memiliki jenis yang beragam.

Contoh yang menjadi hal problematika dalam kasus kekerasan seksual, diantaranya pada kasus pemerkosaan sering kali pelaku diberi hukuman sangat ringan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebelum disahkannya UU TPKS ini menganggap regulasi tersebut tidak terlalu penting.

Sebab, adanya belenggu budaya patriarki tersebut maka tindak kekerasan seksual selalu terjadi. Oleh karena itulah persoalan tersebut tidak mampu mengubah budaya untuk meminimalisir tindakan kekerasan seksual di Indonesia,” ujar pakar bidang Gender dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Nur Azizah,M.Si sebagaimana dikutip dari situs resmi universitas terkait.

Maka, mari kita mengawal penerapan UU TPKS agar korban bisa mendapat keadilan dan pelaku mendapat efek jera. ***

Editor: Destri Ananda Prihatini

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler