CEO Vaksin Pfizer Bilang Keampuhan Vaksinnya Menurun Jadi 84 Persen, Perlu Suntikan Ketiga?

- 6 Agustus 2021, 08:15 WIB
Ilustrasi. Meski pandemi belum berakhir, vaksin Pfizer dan Moderna memutuskan untuk naikkan harga khusus negara Uni Eropa.
Ilustrasi. Meski pandemi belum berakhir, vaksin Pfizer dan Moderna memutuskan untuk naikkan harga khusus negara Uni Eropa. /Pexels/Artem-Podrez

Media Magelang - Keampuhan salah satu vaksin Covid-19 Pfizer mengalami penurunan hingga 84 persen enam bulan setelah suntikan kedua, demikian CEO Pfizer Albert Bourla mengutip hasil temuan studi terbaru yang dibiayai perusahaan.

Menurut study tersebut, tingkat keampuhan Pfizer mencapai puncak tertinggi (96.1 persen) antara seminggu hingga dua bulan setelah dosis kedua. Setiap dua bulan, terjadi penurunan sekitar enam persen.

Hasil studi terkait Pfizer Covid-19 ini menimbulkan anggapan lagi bahwa nantinya semua orang akan butuh suntikan ketiga di tengah penyebaran varian Delta yang lebih cepat menular dan sudah menyebar ke lebih dari 104 negara menurut data WHO per 25 Juli 2021.

Baca Juga: Begini Syarat Vaksin Covid-19 Bagi Ibu Hamil

Sementara itu, hasil studi awal di Israel menunjukkan bahwa tingkat keampuhan Pfizer melawan varian Covid-19 Delta menurun 39 persen terhadap varian Delta setelah studi awal menunjukan efektivitas Pfizer berkurang 64 persen.

Hasil ini bertentangan dengan hasil penelitian dari New England Journal of Medicine bahwa Pfizer efektif 88 persen melawan varian Delta dan 94 persen melawan virus corona varian asli.

Lalu, mengapa hasil penelitian bisa berbeda?

Menurut peneliti dan praktisi kedokteran Dr. Jacob Wesley Ulm, MD, PhD, studi Israel ini lebih mendalam dalam menyelidiki orang-orang yang terinfeksi setelah menerima vaksin (breakthrough infection).

"Yang membedakan adalah Israel juga melacak orang-orang yang terkena COVID-19 setelah divaksinasi. Sementara Pusat Pengendalian Penyakit di AS (CDC) berhentik melacak orang-orang yang terinfeksi paska imunisasi yang tidak bergejala parah," ujarnya dalam wawancara via Skype pada 3 Agustus 2021.

Baca Juga: Kisruh Data Stok Vaksin di Jawa Tengah, Ganjar Pranowo: Stok Terus Ditambah

Namun, data penelitian Israel menunjukkan vaksin dua dosis masih efektif 88 persen mencegah orang dirawat inap dan 91 persen mencegah sakit parah.

Sementara itu Dr Christina Zhang dari MiDoctor Urgent Care mengungkapkan bahwa hasil penelitian di Israel masih penelitian awal dan belum dilakukan penilaian oleh rekan sejawat (peer review) dan ada beberapa faktor yang belum terjawab dari studi tersebut.

"Kita belum tahu apakah perbedaan hasil penelitian ini dilihat dari sejumlah faktor misalnya populasi dimana sampel diampil. Usia dan faktor penyakit bawaan atau komorbid juga punya peran penting. Efektivitas Pfizer terhadap varian Delta juga tergantung pada perilaku manusianya. Seberapa patuh mereka melakukan jaga jarak dan memakai masker?" demikian penuturan dokter gawan darurat ini lewat wawancara oleh Media Magelang secara tertulis pada 6 Agustus 2021.

Pakar penyakit menular dari TeleMed2U Dr Javeed Siddiqui, MD, MPH dalan wawancara tertulis dengan Media Magelang mengungkapkan bahwa masalah perbedaan hasil studi ini menjadi hal yang penting yang akan menentukan apakah ke depan bakal perlu suntikan ketiga.

."Bulan Mei,para ahli dari Inggris memaparkan data Pfizer-BioNTech punya efektivitas 88 persen melindungi gejala akibat varian Delta. Lalu di Juni, data dari Skotlandia menyimpulkan vaksin ini 79 persen efektif menangkal varian Delta. Selain itu, peneliti Kanada Juli lalu memaparkan data bahwa vaksin ini 87 persen ampun terhadap varian Delta. Mengenai hasil penelitian berbeda. kami perlu menelaan lebih lanjut perbedaan data dari Israel,"ujarnya.

Apakah booster diperlukan?

Baik Dr Christina Zhang dan Dr Javeed Siddiqui mengungkapkan bahwa perlu atau tidaknya suntikan ketiga masih butuh kajian lebih lanjut.

"Apakah booster diperlukan atau tidak tergantung dari hasil uji klinis yang tengah berlangsung," ujar Dr Christina Zhang.

Sementara Dr. Javeen Siddiqui mengungkapkan bahwa perlu tidaknya suntikan ketiga adalah pertanyaan yang terbuka terhadap segala jawaban.

"Data terkait efektivitas Pfizer masih perlu dikaji lebih dalam. Namun bisa saja kita butuh booster jika virus terus bermutasi," ungkap dokter lulusan University of Missouri ini.

Dr.Jacob Wesley Ulm mengungkapkan Israel sudah mulai memberi suntikan ketiga kepada warga di atas usia 60 tahun yang sudah mendapat vaksin Pfizer dosis kedua dalam lima bulan terakhir.

"Saya tidak tahu jika Anda sempat dengar bahwa Turki dan Bahrain sudah memberi suntikan ketiga sebelum Israel," ujarnya sembari menambahkan bahwa vaksin bukanlah obat dan kemampuan menangkal virus tetap berpulang pada kekebalan tubuh manusia sendiri.

Hasil penelitian terkait menurunnya efektivitas Pfizer ini tidak serta merta mempengaruhi program vaksinasi negara-negara yang menggunakan Pfizer dalam program vaksinasi nasional mereka.

"Hasil tersebut berdampak kecil pada program vaksinasi negara-negara yang menggunakannya. Vaksinasi tetap harus dipercepat sesegera mungkin," ujarnya.

Dr.Jacob Wesley Ulm menambahkan bahwa orang-orang berisiko tinggi seperti lansia, orang-orang dengan penyakit bawaan adalah yang kemungkinan besar diutamakan untuk menerima suntik ketiga.

Namun, semua itu sekali lagi masih butuh penelitian lebih lanjut. Baik Dr. Jacob Wesley Ulm dan Dr.Christina Zhang sepakat bahwa masalah berapa lama kekebalan berkurang dan efektitvitas vaksin hasilnya bisa beragam.

"Kita kehilangan kekebalan setelah enam bulan. Sekarang itu tidak mutlak. Dan hasilnya bisa beragam," ujar dosen di Massachustets institute of Technology (MIT) ini menutup pembicaraan.

Demikian penjelasan terkait hasil penelitian efektivitas vaksin Pfizer dan kemungkinan dibutuhkannya suntikan ketiga.***

Editor: Destri Ananda Prihatini

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah