Tradisi Malam Satu Suro Dari Pandangan Islam dan Budaya Jawa

- 24 Juli 2022, 08:33 WIB
Tradisi Malam Satu Suro Dari Pandangan Islam dan Budaya Jawa
Tradisi Malam Satu Suro Dari Pandangan Islam dan Budaya Jawa /Tangkapan layar Instagram @bethcute1990
 
Media Magelang - Berikut tradisi malam satu suro menurut pandangan dari segi agama Islam dan budaya Jawa.
 
Awalan malam satu suro menurut tanggal Jawa berarti dimulainya bulan Muharam menurut penanggalan hijriah.
 
Peringatan malam satu suro dianggap sebagai berkah karena termasuk salah satu dari empat bulan yang istimewa dalam segi pandangan Islam.
 
Peringatan malam satu suro menurut Islam sama dengan awalan bulan Muharam tahun hijriah.
 
 
Dalam Surat At Taubah ayat 36 dijelaskan, bilangan bulan di sisi Allah SWT ada 12 dan dalam penciptaan langit dan bumi, ada empat bulan yang suci.
 
Hadits Riwayat Bukhari Nomor 3025 menyebut Nabi Muhammad SAW bersabda, empat bulan suci yang dimaksud yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah,  Muharram dan Rajab.
 
Keempat bulan ini juga disebut bulan haram. Kenapa? Karena pada bulan tersebut diharamkan untuk membunuh dan ditekankan untuk menghindari apa-apa yang diharamkan Allah SWT.
 
Dalam Islam, bulan Muharram (suro dalam Kejawen) adalah bulan Allah SWT atau Syahrullah.
 
 
Seauai tradisi Jawa di malam satu suro umumnya dilakukan tirakat, lek-lekan atau tidak tidur semalam suntuk, dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa).
 
Bahkan beberapa orang memilih melakukan tirakat di tempat sakral seperti laut, gunung, pohon besar, ataupun makam keramat. Peringatan malam satu suro harus berjalan khuysuk.
 
Ritual dilakukan secara individu dengan membersihkan diri secara lahir batin sebagai momen introspeksi dan syukur dengan meyakini-Nya sebagai yang membuat hidup dan menghidupi dunia dan seisinya.
 
Pada bulan suro, warga harus tetap eling dan waspada. Eling di sini berarti ingat siapa dirinya dan di mana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan.
 
Sedangkan waspada berarti sebagai manusia harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.
 
Berbagai daerah di Pulau Jawa memiliki tradisi dan karakteristik tersendiri dalam merayakan satu suro seperti di Keraton Surakarta dan Yogyakarta.
 
Perayaan satu suro biasanya dilakukan serempak pada malam pergantiannya di Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Keduanya memiliki karakteristik tersendiri.
 
Di Keraton Surakarta Hadiningrat kirab malam satu suro dipimpin Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah.
 
Dalam Babad Solo Raden Mas Said disebutkan leluhur kebo bule adalah hewan kesayangan Paku Buwono II.
 
Ciri dari leluhur kebo bule disebutkan berwarna putih kemerahan, hadiah dari Kyai Hasan Besari Tegalsari Ponorogo.
 
Pada saat kirab kebo bule diikuti para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka. Kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.
 
Untuk di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, perayaan satu suro dilakukan dengan mengarak benda pusaka mengelilingi benteng keraton diikuti warga Yogyakarta dan sekitarnya.
 
Saat mengelilingi benteng keraton atau mubeng benteng, mereka yang mengikuti ritual dilarang berbicara seperti orang bertapa. Dari sini  muncul istilah mbisu mubeng benteng.
 
Yang pasti dalam setiap perayaan malam satu suro selalu ada sesi doa bersama untuk mendapatkan berkah dan menangkal marabahaya.
 
Perayaan satu suro dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, introspeksi dan mempersiapkan diri untuk tahun yang akan datang.
 
Demikian informasi terkait tradisi malam satu suro menurut pandangan Islam dan budaya Jawa.***

Editor: Sonia Okky Astiti

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah