Vaksin Covid-19 Ramai Dibandingkan, Mana yang Lebih Efektif? Simak Penjelasan Berikut

- 18 Juli 2021, 15:15 WIB
Mana vaksin Covid-19 yang lebih efektif? Simak penjelasan berikut.
Mana vaksin Covid-19 yang lebih efektif? Simak penjelasan berikut. /Pixabay/HakanGERMAN

Media Magelang - Di tengah seruan untuk segera melakukan vaksinasi dan tidak memilih vaksin, namun tingkat keampuhan alias efficacy rate tiap vaksin Covid-19 kerap menjadi perdebatan yang tiada habisnya, baik bagi orang awam maupun pakar kedokteran.

Pemberian dosis ketiga (booster) menggunakan vaksin Covid-19 Moderna kepada para tenaga kesehatan di Indonesia memicu keraguan banyak orang terhadap efektivitas vaksin buatan China Sinovac.

Menurut catatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ada 61 dokter yang meninggal terpapar Covid-19 selala periode Februari-Mei 2021.

Sebanyak 14 di antaranya sudah menerima vaksin Covid-19.

Pusat Ilmu Kesehatan Penyakit Menular Palang Merah Thailand dan ahli virologi di BIOTEC mengeluarkan penelitian bahwa vaksin Sinovac kurang efektif melawan varian Delta, demikian Media Magelang kutip dari Thai PBS World 9 Juli 2021.

Baca Juga: Cek Jadwal dan Link Info Vaksin Malang Online dan Lakukan Pendaftaran di vaksincovid19.malangkab.go

Dua dosis vaksin Oxford-Astra Zaneca dianggap lebih efektif menangkal varian Delta Covid-19 dengan tingkat antibodi penetralisir mencapai 50 persen.

Metode pembuatan vaksin Covid-19

Thailand sendiri tengah mempertimbangkan mencampur vaksin Sinovac (yang menggunakan metode virus yang dinonaktifkan atau inactivated virus) dengan Oxford-Astrazaneca yang menggunakan platform Adenovirus yang merekaya virus itu agar menjadi vaksin yang kemudian menginfeksi virus lain.

Sementara vaksin Pfizer BioNTech dan Moderna menggunakan metode mRna (messenger Rna).

Vaksin berbasis mRna ini akan mengajari dan memberi instruksi sel tubuh untuk membentuk protein yang bisa memicu respon kekebalan dalam tubuh.

Nah, respon imun itulah yang akan menghasilkan antibodi yang membentengi tubuh kita saat terinfeksi virus corona.

Sementara vaksin Johnson&Johnson (J&J) memodifikasi Adenovirus yang mengandung materi genetik yang terdapat pada virus corona.

Tidak seperti jenis vaksin lainnya, vaksin J&J hanya butuh sekali suntik.

Baca Juga: Thailand dan Vietnam Campur Dua Vaksin Covid-19 Merk Beda, Amankah? Berikut Penjelasan Pakar

Seberapa efektif vaksin Covid-19 yang ada sejauh ini?

Berdasar uji klinis sejauh ini, Moderna dan Pfizer BioNTech mempunyai tingkat keampuhan paling tinggo, yaitu masing-masing 94 persen (14 hari setelah dosis kedua) dan 95 persen (seminggu setelah dosis kedua).

Sementara J&J punya keampuhan atau efficacy rate sebesar 66 persen 28 hari setelah sekali suntik.

Lalu, bagaimana menghitung tingkat keampuhan?

Pastinya lewat uji klinis yang melibatkan puluhan ribu orang. Contoh uji klinis Pfizer BioNTech melibatkan 43.000 orang.

Mereka dibagi dua, yaitu separuh yang disuntikkan vaksin asli dan separuhnya lagi disuntik placebo (obat kosong). Lalu para peserta beraktivitas seperti biasa dan dimonitor apakah ada yang terkena Covid-19.

Hasil akhirnya adalah 170 terinfeksi Covid-19. Dari sini, dibagi lagi. Jika ke-170 orang yang terkena Covid-19 ini terdiri dari 85 yang disuntik vaksin dan 85 yang disuntik placebo maka keampuhannya nol persen.

Jika ke-170 orang yang sakit tersebut adalah yang menerima obat kosong berarti keampuhan vaksin mencapai 100 persen.

Di uji coba ini, dari 170 orang, hanya delapan yang terinfeksi Covid-19 setelah menerima vaksin dan sisanya yang menerima placebo. Jadi, keampuhannya 95 persen.

Sayangnya, tingkat keampuhan bukan menjadi tolok ukur satu-satunya

Uji klinis semua vaksin tentunya menggunakan metode yang sama sebagaimana dijealskan di atas.

Namun yang jadi masalah adalah bagaimana situasi saat uji klinis diadakan?

"Salah satu pertimbangan terbesar kami saat melihat angka-angka tersebut adalah kapan uji klinis tersebut dilakukan," ujar ilmuwan mikrobiologi Deborah Muller dari Universitas Washington sebagaimana Media Magelang rangkum dari Vox.com

Pfizer BioNTech dan Moderna melakukan uji klinis di musim panas 2020 (sekitar Agustus hingga November 2020) saat kasus Covid-19 di AS belum mencapai puncak tertinggi.

Sementara J&J melakukan uji klinis sekitar periode Oktober hingga Januari/Februari 2021 dimana kasus sudah tinggi, semakin banyak yang berisiko terinfeksi.

Selain itu, J&J melakukan uji klinis di Afrika Selatan dan Brazil yang bukan saja kasusnya yang tinggi namun jenis strain virusnya juga berbeda.

"Jika ingin membandingkan vaksin satu dengan vaksin lain, maka perlu dipelajari di uji klinis yang sama di waktu yang sama dengan persyaratan yang sama,"ujar ilmuwan dari John Hopkins University Center for Health Security Amesh Adalia dalam video berjudul Why You Can't Compare Covid-19 Vaccines yang diunggah pada 20 Maret 2021.

Amesh menambahkan tujuan vaksin itu bukan mengakhiri pandemi namun menjinakkan virus itu sendiri.

Masalah efek samping juga kerap menjadi perdebatan

Sama seperti obat, vaksin juga menimbulkan berbagai efek samping seperti demam, gatal-gatal, pusing atau mengantuk. Ini yang disebut KIPI (Kejadian Ikutan Paska Imunisasi).

Penggunaan vaksin AstraZaneca dan J&J sempat dihentikan sementara di AS dan beberapa negara akibat risiko pembekuan darah.

Selain itu, kita kerap mendengar bahwa pada akhirnya orang tetap wajib memilih vaksin karena kondisi kesehatan tiap individu berbeda dengan penyakit yang dideritanya.

:Saya punya penyakit bawaan yaitu diabetes dan jantung. Jadi saya memilih tidak vaksin dengan yang ada saat ini. Saya disarankan untuk vaksin dengan Moderna,: ujar warga Jakarta Pusat yang tak disebutkan namanya dan baru saja menjalani pasang ring jantung pada awal Juli 2021.

Lalu, apa solusinya?

Peneliti sekaligus dokter Dr Jacob Wesley Um MD, Ph.D dalam wawancaranya dengan Media Magelang 17 Juli 2021 masalah jenis vaksin mana yang tepat bagi orang dengan penyakit bawaan masih menjadi perdebatan.

"Vaksin mana yang cocok untuk orang dengan diabates, misalnya? Ini sulit dipastikan karena walau tingkat keampuhan Pfizer BioNTech bisa jadi tinggi, namun belum jelas bagaimana efeknya di tiap individu," ujar dokter yang mengaku sempat mengalami gejala COVID-19 di awal pandemi.

Dengan kondisi penyebaran varian Delta yang semakin cepat, maka untuk kepraktisan bisa jadi vaksin J&J atau Sinopharm yang tidak membutuhkan penyimpanan ekstra dingin seperti vaksin MRna seperti Pfizer.

Namun uji linis lebih lanjut tetap dibutuhkan dengan melibatkan orang-orang dengan komordibitas, seperti orang-orang dengan penyakit diabetes dan penyakit lainnya.

Kesimpulannya, vaksin yang ada saat ini adalah yang terbaik untuk menjaga kita dan orang sekitar kita dari terpapar Covid-19.

Tingkat keampuhan vaksin Covid-19 penting namun bukan menjadi satu-satunya faktor penentu.***

Editor: Destri Ananda Prihatini

Sumber: Vox CDC


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x