Warga Asli Kalimantan Berisiko Terusir dari Tanahnya Karena Pemindahan Ibu Kota Baru

- 22 Januari 2022, 11:32 WIB
Warga Asli Kalimantan Berisiko Terusir.
Warga Asli Kalimantan Berisiko Terusir. /pikiran-rakyat.com/Instagram @Jokowi
 
Media Magelang - Warga atau penduduk asli Kalimantan berisiko terusir dari tanah mereka karena pemindahan ibu kota baru.
 
Puluhan ribu warga asli Kalimantan berisiko diusir dari tanah mereka untuk memberi jalan bagi pemindahan dan pembangunan ibu kota baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur yang tertutup hutan.
 
Sebuah kelompok hak asasi manusia memperingatkan resiko yang mengancam kehidupan warga Kalimantan itu pada Jumat 21 Januari 2022.

Setidaknya 20.000 orang dari 21 kelompok adat tinggal di wilayah yang ditunjuk untuk pembangunan ibu kota baru.

Baca Juga: Miris! Indonesia Punya Hutang Negara Hingga Rp10 Ribu Triliun, Musni Umar: Masih Mikir Pindah Ibukota

Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), undang-undang yang digunakan sebagai dasar pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan tidak memberikan perlindungan yang cukup bagi hak-hak warga asli Kalimantan atas tanah mereka sendiri.

AMAN mengeluarkan peringatannya setelah pekan lalu parlemen Indonesia menyetujui pemindahan ibu kota dari Jakarta yang ada di Pulau Jawa ke Provinsi Kalimantan Timur yang berbagi negara dengan Malaysia dan Brunei Darussalam.

“Proyek ini akan memicu masalah seperti perampasan tanah adat dan kriminalisasi masyarakat adat ketika mereka mencoba mempertahankan hak-hak mereka,” kata Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Jumat 21 Januari 2022.

"Mereka juga akan kehilangan pekerjaan tradisional mereka seperti bertani," imbuh Muhammad Arman.

Data yang dihimpun oleh AMAN pada tahun 2019 menunjukkan setidaknya 13 tanah ulayat yang dikelola menurut adat berada di kawasan ibu kota baru di Penajam Paser Utara.

Baca Juga: Artis Ibu Kota Ramaikan WSBK 2021 Lewat Mandalika Xperience Festival

Masyarakat adat di Kalimantan sudah terjebak dalam konflik berkelanjutan dengan perusahaan yang telah diberikan kontrak perkebunan di sekitar 30.000 hektar yang tumpang tindih dengan tanah adat.

“Ini seperti double run bagi masyarakat adat. Pertama, mereka harus melawan dunia usaha, dan ke depannya mereka harus menghadapi pemerintah sendiri untuk proyek ibu kota baru,” tutur Muhammad Arman.

Halaman:

Editor: Sonia Okky Astiti


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x