Pastinya lewat uji klinis yang melibatkan puluhan ribu orang. Contoh uji klinis Pfizer BioNTech melibatkan 43.000 orang.
Mereka dibagi dua, yaitu separuh yang disuntikkan vaksin asli dan separuhnya lagi disuntik placebo (obat kosong). Lalu para peserta beraktivitas seperti biasa dan dimonitor apakah ada yang terkena Covid-19.
Hasil akhirnya adalah 170 terinfeksi Covid-19. Dari sini, dibagi lagi. Jika ke-170 orang yang terkena Covid-19 ini terdiri dari 85 yang disuntik vaksin dan 85 yang disuntik placebo maka keampuhannya nol persen.
Jika ke-170 orang yang sakit tersebut adalah yang menerima obat kosong berarti keampuhan vaksin mencapai 100 persen.
Di uji coba ini, dari 170 orang, hanya delapan yang terinfeksi Covid-19 setelah menerima vaksin dan sisanya yang menerima placebo. Jadi, keampuhannya 95 persen.
Sayangnya, tingkat keampuhan bukan menjadi tolok ukur satu-satunya
Uji klinis semua vaksin tentunya menggunakan metode yang sama sebagaimana dijealskan di atas.
Namun yang jadi masalah adalah bagaimana situasi saat uji klinis diadakan?
"Salah satu pertimbangan terbesar kami saat melihat angka-angka tersebut adalah kapan uji klinis tersebut dilakukan," ujar ilmuwan mikrobiologi Deborah Muller dari Universitas Washington sebagaimana Media Magelang rangkum dari Vox.com
Pfizer BioNTech dan Moderna melakukan uji klinis di musim panas 2020 (sekitar Agustus hingga November 2020) saat kasus Covid-19 di AS belum mencapai puncak tertinggi.