"Pilot JT610 tetap tenang selama sebagian besar penerbangan," tutur tiga sumber tersebut.
Menjelang akhir, kapten meminta petugas pertama untuk terbang sementara dia memeriksa manual untuk mencari solusi.
Baca Juga: Kepala Dinas Kesehatan Jateng, Yulianto Prabowo: Penerima Vaksin Sudah Lalui Skrining Ketat
Sekitar satu menit sebelum pesawat menghilang dari radar, kapten kemudian meminta ATC untuk membersihkan lalu lintas lainnya di bawah 3.000 kaki dan meminta ketinggian 5.000 kaki. Permintaannya ini disetujui, menurut laporan awal tersebut.
Menurut sumber kedua, saat kapten itu berusaha untuk menemukan prosedur yang tepat di buku panduan, petugas pertama tidak dapat mengendalikan pesawat.
“Ini seperti ujian dimana ada 100 soal dan waktu habis baru menjawab 75. Jadi Anda panik. Ini adalah kondisi time-out," kata sumber ketiga.
Baca Juga: BLT Subsidi Gaji dari Kemnaker Sudah Cair, Cek Penerima BSU BPJS Ketenagakerjaan
Kapten kelahiran India itu pada akhirnya terdengar terdiam, sementara co-pilot asal Indonesia menyerukan "Allahu Akbar". Yang terjadi sesudahnya tragis. Pesawat itu menghantam perairan laut dan menewaskan semua orang yang di dalamnya.
Badan investigasi kecelakaan udara Prancis BEA mengatakan, perekam data penerbangan (flight data recorder) dalam kecelakaan pesawat di Ethiopia yang menewaskan 157 orang juga menunjukkan "kesamaan yang jelas" dengan Lion Air JT 610.
Sejak kecelakaan Lion Air, Boeing telah mengupayakan peningkatan perangkat lunak untuk mengubah seberapa banyak otoritas yang diberikan ke Sistem Augmentasi Karakteristik Manuver, atau MCAS, sistem anti-stall baru yang dikembangkan untuk 737 MAX.