Menyoal Revisi UU ITE, Pakar Komunikasi UGM Menekankan Hal Ini

- 18 Februari 2021, 18:58 WIB
Menyoal Revisi UU ITE, Pakar Komunikasi UGM Menekankan Hal Ini
Menyoal Revisi UU ITE, Pakar Komunikasi UGM Menekankan Hal Ini /ugm.ac.id/

Media Magelang - Pakar komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Nyarwi Ahmad menekankan hal ini dalam menanggapi isu revisi UU ITE.

Nyarwi Ahmad turut memberikan pendapatnya dalam isu revisi UU ITE yang sedang ramai dibicarakan.

Nyarwi Ahmad berpendapat revisi UU ITE ini menjadi langkah baik apabila dikaitkan dengan harapan Presiden Joko Widodo yang menginginkan kritik dari masyarakat.

Baca Juga: Bingung Pilih Kampus di SNMPTN? Simak 15 Kampus Terbaik di Indonesia versi Kemdikbud Di Sini

Nyarwi menambahkan kritik-kritik dari masyarakat sebenarnya sudah muncul, tetapi banyak di media sosial.

Keberadaan UU ITE yang dianggap memiliki banyak pasal karet seperti pasal 27 ayat 3 atau pasal 28 ayat 1 dan 2 itu justru menjadi momok bagi masyarakat yang ingin mengkritik.

Menurut Nyarwi, minimnya kejelasan soal batas-batas kebencian, merugikan, dan kebohongan itu yang menyebabkan UU ITE ini kurang mampu berdiri dengan baik sehingga membuat orang takut untuk mengkritik.

Baca Juga: Infeksi Covid-19 di Indonesia Lebih dari 30 Persen, Menkes Budi Gunadi: Bukan Karena Penularan yang Meningkat

Untuk itu, Nyarwi menyarankan mestinya ada kejelasan soal batas-batas kebencian itu seperti apa, batas merugikan seperti apa, batas kebohongan seperti apa.

“Problemnya, sejauh mana pasal ini mendefinisikan soal kritik, apa bedanya kritik dan ujaran kebencian, apa bedanya kritik dengan menyebarkan kebohongan.Definisi operasional soal itu menurut saya penting untuk memudahkan orang paham, kritik itu sebenarnya apa sih," kata Nyarwi, dilansir Media Magelang dari laman resmi UGM pada 18 Februari 2021.

Lebih lanjut, Nyarwi berpendapat revisi UU ITE merupakan langkah baik.

Baca Juga: Jalur SNMPTN 2021 Sudah Dibuka, Simak 10 Jurusan dengan Keketatan Tertinggi di IPB: Ilmu Gizi Nomor Satu!

Hal ini karena dapat menghindarkan multitafsir terhadap arti pasal itu sendiri dan secara umum menghindarkan ketakutan-ketakutan masyarakat untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja presiden sebagai kepala negara dan kepada semua pimpinan lembaga.

Perihal apakah revisi UU ITE adalah pilihan terbaik atau tidak, Nyarwi menyatakan revisi memungkinkan saja karena undang-undang dibuat sesuai konteks semangat zamannya dan kebutuhan.

“UU ITE sendiri sudah pernah dilakukan revisi pada tahun 2015. Kominfo mengajukan revisi dan revisi sendiri dinilai cukup progresif saat itu, soal hukuman dari 6 tahun ke 4 tahun dan sebagai delik aduan tidak bisa langsung (tiba-tiba), harus ada pihak yang melapor atau paling tidak pihak yang dirugikan," kata Nyarwi.

Baca Juga: Ingin Kuliah di UI? Simak Daya Tampung UI Melalui Jalur SNMPTN 2021 Berikut

Nyarwi menambahkan bahwa peran kritik sangatlah penting dalam demokrasi sebab dengan kritik bisa menyegarkan, memperbaiki dan memperbaharui kebijakan pemerintah agar sempurna dan maksimal dalam pelaksanaannya sehingga efektif.

Namun, saran Nyarwi, yang perlu diperhatikan adalah iklim atau ekositem demokrasi yang bisa memunculkan kritik secara sehat dan disampaikan dengan cara-cara yang sehat. Sebab, jika tanpa argumen dan tanpa data langsung mencaci maki bukanlah sebagai kritik tetapi caci maki.

“Artinya sekali lagi definisi kritik dan bukan kritik perlu dievaluasi supaya tidak multitafsir dan harus diakomodasi dalam regulasi," kata Nyarwi.

Baca Juga: Update MotoGP 2021: Akankah Pertarungan Marc Marquez vs Valentino Rossi Kembali Terjadi?

Jika ekosistem dalam demokrasi sudah baik dan sehat tentu akan muncul kritik yang menyehatkan bagi pemerintah.

Maka dari itu, Nyarwi menyarankan definisi kritik harus diklarifikasi dengan baik karena menyampaikan kritik sebagai kebebasan menyuarakan pendapat dijamin dalam UUD 1945 pasal 28.

“Sehingga mereka yang menyampaikan pendapat atau kritik benar-benar terlindungi. Bukan karena tidak ada regulasi yang jelas dan menjadi pasal karet apa saja kemudian bisa dilaporkan, dan kemudian ada celah dimultitafsirkan dan kemudian orang merasa terjadi pembungkaman, dan saya kira itu kurang menguntungkan," ujar Nyarwi.

Baca Juga: Samsung Galaxy A52 Segera Rilis, Intip Spesifikasinya Di Sini!

Dengan begitu, Nyarwi berharap akan muncul budaya etika mengkritisi yang baik dan sehat.

Nyarwi juga menekankan agar para elite negara juga menerapkan tradisi menerima atau mendengar kritik. Dengan adanya tradisi elite pemerintah yang demikian, gagasan dan rencana kebijaksanaan pemerintah dapat dievaluasi dan diuji melalui kritik-kritik.

“Itulah bagaimana cara menguatkan cara berdemokrasi kita. Jika pernyataan ini sebagai pintu masuk revisi justru bisa sebagai sarana menjernihkan definisi kritik dan apa bedanya dengan penyebaran berita bohong, hasutan, ujaran kebencian dan lain-lain. Kritik kan hak masyarakat untuk menyuarakan dan dilindungi UUD 1945. Karenanya DPR harus membantu masyarakat untuk mengakomodasi suara-suara masyarakat dalam melakukan kritik dengan cara benar bukan cara yang sesat," ujar Nyarwi.

Pakar komunikasi Nyarwi Ahmad ikut berpendapat dalam isu revisi UU ITE, Ia menekankan adanya batas-batas pemahaman soal kebencian, merugikan, dan kebohongan, serta mengakomodasi definisi kritik dalam regulasi.***

Editor: Dinda Silviana Dewi

Sumber: UGM


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah